Jalanan selalu mengajarkan banyak hal. Tentang rasa rindu menghirup udara di tempat lain, tentang meneladani kehidupan orang yang saya temui di tengah perjalanan, tentang berbagi jutaan impian, dan tentang menemukan arti sebuah rumah.
Tanggal 5 dini hari pukul 2.10. Saya sudah harus bersiap untuk berangkat ke stasiun, dari rumah sekitar 7 menit. Pukul 2.30 saya masih menunggu kereta bersama mba Zachira Indah, teman satu kota yang juga mendapat undangan untuk datang ke PPI 2015 di Surabaya. Perjalanan kereta akan lama, 7 jam. Jadi kami berdua tidak sempat memikirkan hal lain selain persiapan yang terburu-buru karena fix hotelnya baru diperoleh tanggal 4 pukul 16.00. Tepat sesaat saya hampir menyerah karena tidak ada kejelasan dari panitia. Tapi Allah Maha Rencana, saya dan mba Indah mendapat jatah menginap dengan Jiah. Sayang Jiah batal pergi. Makasih mba Avy dan mba Ika yang sudah berjuang untuk memberi fasilitas menginap bagi para blogger. 🙂
Di peron stasiun, saya menunggu, lama kereta tidak muncul. Hanya dua orang yang terlihat duduk di sepanjang peron, seorang lelaki yang membawa travel bag, dan seorang perempuan di ujung peron yang lain. Seorang perempuan setengah baya itu tergopoh-gopoh menanyakan pada saya tentang jadwal kereta dan tujuan saya pergi. Saya menjawab seadanya karena kepala saya masih pening. Kurang tidur. Heuheu. Maafkeunn.
Sang ibu terlihat antusias karena ada teman bicara, sedangkan seorang petugas kereta mengatakan bahwa saya harus menemani sang ibu agar ia mendapatkan kursi sesuai dengan tujuan keretanya. Beliau keren sekali. Di usia yang entah berapa masih mau untuk pergi jauh memakai kereta. Alasannya karena biaya pesawat yang mahal dari Medan, ia harus mengoper pergi dari satu tempat ke tempat lain menggunakan kereta. Beliau menanyakan harga tiket, lalu saya berkata harga tiket 160 ribu, Harina kelas ekonomi. Kelas pilihan paling murah saat membeli karena yang lain sudah habis.
Sang ibu terlihat gelisah menatap saya sambil berkata terus-menerus, “Harga tiket punya saya mahal ya, 250 ribu. Beda jauh dengan tiket mba.” Saya jadi tidak enak sendiri dengan ibu itu. Seharusnya tidak perlu membahas harga tiket karena bisa jadi ibu tersebut perlu mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dari hasil keringatnya. Di sampingnya ada banyak karung plastik berisi entah barang apa. Tujuan berikutnya akan ke kota lain, harus berpindah kendaraan lagi. Saya tertegun melihat semangat beliau untuk menemukan sebuah arti pulang.
Di kereta Harina, perjalanan menuju Semarang stasiun Tawang. Saya bertemu dengan dua orang mahasiswa tingkat 3 yang antusias membahas tentang perjalanan mereka ke Lombok. Mereka datang berkelompok sebanyak lima orang. Terheran saya melihat mereka karena di usia mereka saat ini sudah berani memilih untuk keluar dari zona nyaman. Pergi sendiri melakukan perjalanan, menghitung budget tiket, mencari relasi yang bisa diinap, bahkan menentukan tempat tujuan jalan-jalan. Ah, anak muda. Saya berasa semakin malu kalau banyak ngeluh karena saya belum seekstrim kalian meninggalkan rumah lalu mengejar pengalaman yang bisa jadi hanya bisa dilakukan di usia muda. Jalan-jalan menjelajahi tempat impian.
Sesaat sebelumnya saya melihat mba Indah tersenyum, agak miris. “Aku kok jadi inget anakku nek denger tangisan bayi.” Lalu mode mellow menggema dalam kepala saya. Seorang ibu bagaimana pun akan selalu memikirkan anaknya, apakah ia ada di rumah atau di mana pun ia berada. Buktinya, mba Indah masih sempat memerah ASI di saat yang lain sibuk makan siang saat di pameran. Dan maha baik Allah karena perjuangan mba Indah memberi yang terbaik bagi anaknya dibayar lunas. Karena tepat sebelum kami check out dari hotel, ada berita dari penerbit bahwa naskahnya masuk dalam daftar pemenang dan mendapat hadiah trip to Korea. Yeah, selamat, mbaakk! Rezeki emak baik ya. 🙂
Sesaat sebelum saya pulang ke rumah, saat saya mencium tangan bapak saat dijemput di stasiun Tegal, mendadak mata saya berkaca-kaca. Saya tiba-tiba kok kangen dengan suasana seperti ini. Sudah lama tidak pergi menggunakan kereta dan dijemput. Tiba-tiba, sisa tenaga yang terkuras selama perjalanan yang melelahkan seketika hilang berganti perasaan yang membaik karena rumah adalah tempat paling aman bagi jiwa. Perjalanan akan selalu mengajarkan banyak hal, tentang arti sabar dan syukur. Nano-nano rasanya. Lain kali saya sambung cerita saat di Surabaya, insya Allah. 🙂
sandi iswahyudi says
Tulisan yang ditulis dengan tulus pasti akan membuat pembaca merasakan hal serupa. Asik, bagaimana pun rumah adalah tempat indah untuk belajar akan segala hal.
Ila Rizky says
Tulus itu bukannya nama penyanyi ya, San? 😛
Iya, rumah itu bikin kangen kalo lagi pergi-pergi. Huhu
Rosa says
Huhu, iri mbak… pengen banget merasakan perjalanan yg sama 🙁
Ila Rizky says
Ayo jalan2 bareng yuk, ca. Jelajah Karimun, mau? Hehe