Editing Lapis Imajinasi. Pertama dengar istilah tentang editing lapis imajinasi, saya tahunya dari mba Riawani Elyta. Waktu itu di grup Be a Writer, mba Lyta membahas tentang naskahnya yang masuk dalam daftar naskah juara di Lomba Amore Gramedia. Gimana tentang proses menulisnya, gimana tentang ide kreatifnya.
Saya takjub dengan mbak Lyta ini, karena jujur… saya juga ingin ikut lomba tersebut, tapi dipikir lagi. Saya ga akan kuat menulis tema berbau domestic drama berbalut romance pasca baca Amore versi yang waktu itu sudah terbit. Yang menurut saya lebih mirip seri Harlequin versi lokal. Yang artinya akan ada adegan mesra sepasang suami istri. Ini benar-benar godaan terbesar untuk seorang penulis yang harus mengikuti selera penerbit. Tapi mba Lyta ternyata mendobrak paradigma tersebut. Naskahnya diedit sesuai dengan romance versinya sendiri. Bahwa tidak harus ada adegan yang bikin badan panas dingin waktu membacanya. Benar-benar bikin saya tanda tanya. Gimana sih caranya? Susah lho jadi penulis yang tetap santun dalam menggambarkan sebuah adegan yang rumit seperti itu. Dan, mba Lyta berhasil.
Ini cuplikan tulisannya di note yang saya baca dan berkesimpulan bahwa memang masih ada penulis-penulis yang bisa mengarahkan idealismenya tetap pada tempatnya. Tak mengikuti arus, tak juga mengekang ide kreatif. Santun dan berhikmah.
Itu sebabnya, bagi saya, menulis novel romance tidak lebih mudah dari novel-novel lain. Karena selain melakukan self-edit pada konten, eyd dan sebagainya, khusus pada novel genre ini, saya masih melakukan satu lapis editan lagi, yang saya sebut edit imajinasi.
Ya. Saat membaca adegan-adegan yang melibatkan chemistry kedua tokoh utamanya, saya selalu membayangkan ada di posisi pembaca,membayangkan sejauh mana imajinasi saya bisa berkembang setelah membacanya. Apakah terus berkembang menjadi tak terkendali atau terbatas adanya. Itu sebabnya, untuk menulis adegan saling menatap saja saya butuh waktu yang cukup lama.
Sejauh ini, Alhamdulillah kekhawatiran saya sepertinya masih tergolong berlebihan. Dari inbox-inbox pembaca untuk novel-inbox saya, mereka sendirilah yang kemudian memunculkan istilah itu : romance yang santun.
Ya, ternyata masih ada kok romance yang santun itu. Saya pun takut untuk menulis fiksi dewasa terutama yang berbalut romance karena tahu, bukan hal yang mudah untuk menyisipkan hal-hal baik dalam rumah tangga. Jadi, apa saya akan tetap berdiri di sini saja dan tidak bergerak sama sekali untuk menulis hal yang sama? Sebuah fiksi yang santun dan berhikmah. Semoga saya bisa ada di posisi seperti mba Lyta dan tidak mengikuti selera picisan. Ya, saya tahu ini perjuangan berat. Mohon doanya semoga tangan ini menulis yang baik-baik saja. :’)
Tegal, 110713, 20:46
VSD says
Jadi Dek Ila pas baca Harlequin hot-cold yaa? 😀 :p
Btw i think, mau mengikuti arus/nggak, itu pilihan. Dan, mbak Lyta menunjukkan pilihannya sndiri dgn membuat genre ‘baru’ yakni roman santun. So apa pilihanmu, La? ^_^
noorma says
baru 3 kali aku mencoba menulis fiksi.. itu flash fiksi karena ada kontes.. bhahhaha
lha kalo disuruh nulis kaya gitu.. bisa demam 100 hari aku..
dalam hati niat banget pgn bikin yang bisa ‘dibaca’ sesuai ‘karakterku’.. tp itu butuh proses dan tidak singkat…
nuel says
Bener banget…. Saya juga mengalaminya… Khususnya saat bikin dialognya.. Susah… -_-
yuniarinukti says
Aku belum ngerti novel yang bikin panas dingin itu seperti apa Mbak. Harlequin aja aku gak pernah baca. suka bingung baca novel buatan luar, kalimatnya suka gak nyambung. Kecuali novelnya Sophie Kinsella..
Mbak aku pengin banget bisa nulis novel, tapi selalu mandeg. jadi gemes rasanya..
r10 says
kalau mengikuti selera penerbit, maka kita ga independen
widhie says
emang novel amore apa sech mba???ga mudeng tuing..tuing..tuing hwakakak
kakaakin says
Jadi… kapan ya aku memulai proyek novelku…?
*merenung di pojokan…