Yang sekarang jadi politikus, polisi, hakim, mereka tidak membaca sastra. Bayangkan, Bung Karno itu sangat membaca sastra. Bung Hatta juga demikian. Mr Soepomo juga demikian. Tapi, ini dipotong oleh pemerintah pada tahun 1951: kewajiban membaca sastra di SMA dihilangkan. Padahal, nilai-nilai keadaban seperti kejujuran, kasih sayang, kebersamaan, cinta kebenaran, itu ditanam melalui sastra. Sedangkan anak-anak kita sudah tidak membaca karya sastra. Kewajiban itu harus dikembalikan. Bukan hanya dikembalikan, tapi juga dipilihkan sastra yang mendidik. Sastra yang membangun karakter. –Ahmad Tohari
(doc : http://www.indonesiagoesfrankfurt.net/kualitas-bangsa-kita-hancur-karena-sudah-lama-berpisah-dengan-sastra-obrolan-dengan-ahmad-tohari/)
Perhelatan Frankfurt Book Fair di Jerman sudah selesai, tapi masih menyisakan perasaan yang membuat saya terkagum. Frankfurt Book Fair ini adalah perhelatan sastra tertua yang membuat banyak negara di seluruh dunia berkumpul untuk saling membincang tentang literasi. Selain itu tentu saja berhubungan dengan jual beli copyright penerjemahan buku ke dalam bahasa lain, jika buku tersebut jadi dibeli oleh penerbit dari negara lain. Frankfurt menarik perhatian saya sejak diumumkan beberapa tahun lalu bahwa Indonesia akan menjadi Guest of Honour di Jerman nanti.
Seperti kata Ahmad Tohari, sastra saat ini sangat jauh dari masyarakat karena memang generasi kita tidak terbiasa membaca sastra. Sastra dirasa berat sehingga dijauhkan dari kehidupan literasi kita. Padahal, hanya buku-buku bermutu yang mampu mengangkat sebuah bangsa menjadi generasi yang lebih baik karena kualitas buku tersebut jika dibaca oleh anak-anak maupun orang dewasa akan membuat banyak perubahan pola pikir. Kita akan lebih lembut pada manusia dan lingkungan sekitar kita karena dikenalkan lewat sastra.
Lihatlah London yang banyak memiliki sastrawan berkelas internasional. Para sastrawan itu seringkali mendapat nobel dan penghargaan bergengsi lainnya. Selain itu, London banyak memiliki cerita anak yang membangun keberanian, kejujuran, dll sehingga anak-anak menjadi lebih berkarakter. Didikan lewat cerita lebih mengena terutama di masa golden age karena bagi anak-anak kisah tersebut akan membekas dalam ingatan hingga dewasa.
Gempita Frankfurt Book Fair 2015
Frankfurt Book Fair mirip dengan book fair lainnya yang berskala internasional seperti London Book Fair yang kata Agustinus Wibowo membuatnya tercengang. Karena di sini bukunya benar-benar berada di lautan buku sehingga tidak tampak secuil pun terlihat waw dibandingkan penulis lainnya yang copyrightnya laris dibeli oleh beberapa negara.
Saya jadi tahu bagaimana melankolisnya para penulis seperti Agustinus itu. Yang menganggap bahwa sebuah karya bukanlah bisnis. Padahal buku pun adalah komoditi industri yang berbasis bisnis. Bisnis is bisnis. Saat berpikir bahwa buku adalah lahan bisnis, para marketing penerbitan itu hanya akan peduli apakah buku itu punya selling point yang tinggi? Apa buku itu bisa menjual dirinya sendiri? Apa yang bisa dijual dari sisi unik buku itu? Mengapa buku itu layak untuk diterbitkan di banyak negara lainnya?
Mengingat hal itu, saya jadi melihat lagi buku-buku favorit saya selama ini seperti Harry Potter. Harry Potter mampu terjual laris di banyak negara, sukses difilmkan dan dibuat juga wahana wisata di Universal Studio Osaka Jepang. Terlihat sekali bahwa dalam perhelatan book fair skala internasional, seorang penulis perlu banyak belajar dari para pendahulunya. Bahwa di atas langit masih ada langit. Dan tidak pantas seorang penulis hanya merasa cukup sampai di level nasional jika ia bisa merambah level internasional yaitu antar benua.
Saat Buku Berbicara di Skala Internasional Frankfurt Book Fair
Well, ternyata di sinilah saya jadi tahu. Banyak hal yang berperan besar dalam membuat sebuah buku laris dibeli di ajang book fair internasional seperti Frankfurt Book Fair.
- Konten buku yang cocok untuk kalangan semua umur dan budaya alias universal.
- Buku yang mengangkat hal-hal sederhana dalam sudut pandang unik yang belum pernah dibahas oleh penulis lain.
- Buku yang bergaya show, not tell. Orang lebih suka gaya bahasa didongengkan sehingga kisahnya mengalir lancar dibandingkan diceritakan asal muasalnya.
- Buku terjemahan rata-rata memiliki plot point yang susah ditebak sehingga menjadi daya tarik tersendiri sehingga buku itu memikat dari awal paragraf hingga akhir halamannya.
- Buku itu membawa pesan kebaikan baik nilai kemanusiaan maupun hal lainnya yang berguna bagi orang lain sehingga perlu dibagikan pada dunia agar lebih banyak yang terinspirasi.
Ada banyak tanda tanya saya yang masih terus tersimpan di otak karena perhelatan Frankfurt Book Fair di Jerman ini. Betapa Indonesia ternyata masih memiliki banyak PR karena konten bukunya belum terlalu banyak yang diadopsi oleh penerbit dari negara lain. Semoga saja sastra Indonesia menjadi sebuah khasanah tersendiri yang mewarnai perhelatan akbar literasi di dunia internasional. Semoga mampu memberikan gambaran bagaimana Indonesia sesungguhnya, negeri dengan sejuta pesona literatur yang patut untuk diapresiasi oleh negara lain di penjuru dunia.
Rosa says
Kayaknya saya udah termasuk generasi yg jauh dr sastra deh mbak 😀
Ayu Citraningtias says
eh tapi taun ini, Indonesia jadi guest of honor di Frankurt Book Fair, kan, mba?
Sebuah kebanggaan besar bagi penulis dan negara kita 🙂
damarojat says
apa lagi saya. jauh dari sastra.
pingin juga baca buku yg susah ditebak tadi. gmn cara penulisnya belajar ya?