Warsito Purwo Taruno, Nasib Anak Negeri yang Berprestasi
Sebenarnya sulit sekali untuk menulis artikel ini mengingat ini tema yang sangat sensitif. Mengenai lagi-lagi kebijakan pemerintah dalam penerapan aturan. Saya pernah dengar bahwa negeri kita memang sulit untuk maju karena terhalang birokrat. Anak muda yang visioner dan kreatif kalah suara dengan generasi tua yang sulit untuk menerima perubahan karena sudah sangat merasa nyaman dengan keadaan sekarang.
Perubahan sekecil apapun yang berbau inovasi akan sulit diterima karena alasan yang kadang terlalu dibuat-buat. Misalnya tidak adanya dana, atau belum ada standar yang tepat, atau bahkan belum ada uji kompetensi. Misalnya saja seperti kasus yang dialami penemu Electro-capacitive Cancer Therapy (ECCT) untuk terapi kanker, pria bernama Warsito Purwo Taruno.
Pak Warsito Purwo Taruno kini hanya bisa mengandalkan dana bantuan untuk penelitiannya dari luar yaitu dengan menjual lisensi ECCT pada Singapura. Singapura adalah negara maju yang meski kecil namun memiliki track record baik dalam hal alat-alat medis. Indonesia seharusnya patut bangga bahwa ada anak negeri yang memiliki keahlian yang mumpuni. Namun sayang, karena kurang apresiasi akhirnya berujung pada penghentian praktek pak Warsito.
Saya ingat lagi ada beberapa kasus lainnya selain pak Warsito Purwo Taruno seperti para atlit yang terpaksa hengkang dari Indonesia karena sulitnya berurusan dengan kewarganegaraan. Diskriminasi, pun begitu minimnya apresiasi terhadap prestasi yang sudah mereka raih di kancah internasional. Akhirnya, tak ada lagi pilihan untuk memilih selain mundur daripada harus kehilangan potensi gemilang.
Ada lagi kasus dana pertandingan yang dialami oleh Rio, pembalap yang akan berlaga di F1. Saya rasa Rio punya pertimbangan dalam hal lain. Misalnya bisa membawa nama Indonesia di kancah internasional. Sejujurnya, Indonesia masih belum banyak dikenal sebagai negara tropis. Hanya dikenal Balis aja sebagai destinasi wisata, dan ketika dikatakan bahwa Bali adalah bagian dari Indonesia, orang luar negeri justru heran. Ya, seperti itulah penilaian mereka.
Sebenarnya, tidak hanya di Indonesia yang mengalami kekagetan terhadap munculnya perubahan atau segala hal yang berbau inovasi. Di negara lain seperti Jepang juga muncul hal semacam itu, selalu harus menunggu kebijakan senior baru bisa diberlakukan secara masif. Inovasi terhenti karena tidak ada keterbukaan antara senior dan yunior untuk mengembangkan diri. Hal inilah yang menyebabkan beberapa pabrik Jepang seperti Toshiba mengeluarkan keputusan untuk merumahkan para karyawannya. Karena kini inovasi dalam bidang tekhnologi sudah sedemikian pesat berpusat pada Korea Selatan.
Saya tahu bahwa perubahan dalam hal apa pun yang berhubungan dengan uang rakyat tidak mudah untuk dilakukan. Selalu ada harga yang harus dikorbankan seperti uang, tenaga, waktu. Apalagi kita memang tidak tahu tingkat keberhasilannya seperti apa. Pak Warsito masih dalam pengembangan untuk alat terapi kankernya, namun sebenarnya Indonesia perlu mengapresiasi produk-produk inovatif semacam ini. Padahal inovasi muncul disebabkan kebutuhan. Masanya telah hadir, maka saat itulah dibutuhkan solusi.
Zona nyaman memang melenakan, apalagi jika hal tersebut justru berdampak besar. Indonesia masih butuh pemimpin-pemimpin muda yang solutif dan inovatif yang duduk di jabatan-jabatan strategis pemegang keputusan karena butuh orang yang bisa membawa perubahan dengan bergegas. Bukan yang harus berpikir lambat. Yah, saya hanya berharap kelak negeri ini tidak menyesal telah menelantarkan banyak potensi anak bangsa seperti pak Warsito Purwo Taruno yang akhirnya dipakai di luar negeri.
Semoga Indonesia lebih bisa menghargai para pahlawan masa kininya seperti pak Warsito Purwo Taruno atau bahkan Rio. Karena kalau bukan mereka yang mengharumkan nama bangsa lewat kiprahnya di bidang yang mereka geluti, lalu siapa lagi yang akan mengenalkan Indonesia sebagai negeri yang sangat potensial? Semoga tulisan ini bisa jadi bahan renungan bersama ya.
Leave a Reply