Saya orang asli Tegal yang kotanya masuk Provinsi Jawa Tengah. Ada banyak perbedaan besar antara satu daerah di pantai utara laut Jawa dan pantai selatan laut Jawa yang saya rasakan. Saat saya mengunjungi Purbalingga minggu lalu, saya melihat banyak rumah berbahan dasar berbeda. Rumah di Purbalingga masih banyak yang memakai atap seng sebagai pengganti genteng. Genteng hanya dipakai oleh kalangan orang-orang berada yang ekonominya menengah ke atas. Genteng tidak mudah ditemukan di rumah dekat persawahan. Saya tidak tahu alasan pasti mengapa orang Purbalingga lebih suka menggunakan seng. Apakah karena cuacanya memungkinkan untuk memakai bahan tersebut? Mengingat sebenarnya jika seng dipakai di Tegal akan panas sekali. Suhu ruangan jadi meningkat drastis dan membuat penghuninya serasa terpanggang.
Ada lagi kekhasan rumah di Purbalingga. Masih banyak rumah yang menggunakan gribik atau anyaman bambu untuk dindingnya. Penduduknya kebanyakan adalah orang yang masih setia pada pertanian sebagai mata pencaharian utama. Namun ada juga yang membudidayakan bibit buah naga, ternak ikan, membuat bulu mata palsu purbalingga yang bagus, membuat bahan furniture rumah tangga dari remahan kayu, berjualan batu akik, hingga memanen strawberry.
Penduduk asli Purbalingga sangat sedikit karena kebanyakan memilih hijrah ke ibukota atau mengadu nasib sebagai tenaga kerja di luar negeri. Alasannya, kota ini teramat sepi untuk dieksplorasi sehingga terkesan seperti kota mati. Andai tidak ada objek wisata Owabong, Pancuran Mas, Sanggaluri Park, mungkin kota ini akan benar-benar seperti kota dalam novel Papertown. Kota sepi yang ditinggalkan tanpa penghuni. Yang saya amati, ada banyak rumah dengan desain modern di kota Purbalingga. Rumah tersebut kebanyakan milik orang yang sudah merantau. Mereka membangun rumah di desa asal, namun tidak dihuni sendiri. Saat senja tiba, kota menjadi sunyi senyap hampir sepi aktivitas.
Joglo Rumah Adat Jawa Tengah yang Menumbuhkan Keterbukaan
Ada satu hal yang saya suka dari Jawa Tengah, provinsi tempat saya tinggal. Di Jawa Tengah, bentuk rumahnya tetap sama satu sama lain baik di Tegal, Purbalingga maupun daerah lain. Hanya bahannya saja yang berbeda. Rumah Joglo, begitu disebut sebagai rumah adat Jateng, memiliki desain yang menarik yang menyimpan filosofi di balik arsitekturnya.
Apa saja filosofi joglo rumah adat Jawa Tengah?
1. Pager Mangkok
Rumah di Jawa Tengah rata-rata tidak memiliki pagar. Umumnya, rumah asli penduduk Jawa Tengah masih menggunakan desain lama yaitu tidak berpagar sama sekali. Atau jika pun terpaksa dipagar, pagarnya terbuat dari tanaman perdu yang tingginya tidak sampai 1 meter. Rumah adat Joglo menggunakan pager mangkok yaitu filosofi bahwa rumah lebih baik tidak dipagar agar penduduk bisa saling membaur di halaman. Saya masih merasakan kekhasan ini saat mengunjungi rumah saudara di Banjaran, Kab. Tegal. Rumah penduduk berhadap-hadapan, dan nyaris tidak ada pagar agar penduduk saling mengunjungi dengan leluasa.
2. Teras di Depan Rumah
Halaman depan rumah diberi teras sehingga setiap orang yang datang bisa saling bercengkrama untuk melepaskan penat atau sekadar bertegur sapa dengan penduduk sekitar. Kekhasan ini muncul karena orang Jawa memang lebih suka saling mengunjungi, baik dengan alasan spesifik maupun hanya ingin mengunjungi saja.
3. Pintu di Tengah Rumah
Desain rumah dibuat dengan model pintu dibuat di tengah rumah. Saya tidak tahu mengapa orang sekitar tempat saya tinggal masih mempertahankan gaya ini. Karena pintu di tengah rumah ini didesain menembus ruangan hingga ke belakang rumah. Bayangkan jika pintu dibuka, semua bagian isi rumah hingga ke belakang akan terlihat. Saya masih melihat desain pintu yang seperti ini di rumah-rumah tetangga.
4. Jendela yang Lebih Banyak dan Besar
Jendela ini bertujuan agar sirkulasi udara lancar. Namun bagaimana jika sebuah rumah memiliki jendela dengan ukuran yang besar dan banyak jumlahnya? Sepertinya ini karena pengaruh arsitektur Belanda yang menjajah Indonesia hingga 3 abad. Rumah di Jawa selalu memiliki jendela yang banyak dan besar. Jika dibuka lebar akan membuat angin bertiup ke ruangan hingga sirkulasi udara menjadi lancar. Bedakan dengan rumah modern yang hanya memiliki 1-2 jendela di depan rumah. Rumah khas Jawa memiliki banyak jendela bahkan bisa puluhan jika ditotal dari jendela depan, kanan dan kiri rumah.
5. Halaman yang Lebih luas
Rata-rata orang Jawa asli memiliki rumah yang di depannya ada halaman. Halaman ini bisa ditanami tumbuhan, namun bisa juga kosongan saja. Halaman ini biasanya digunakan untuk tempat bermain anak-anak saat terang bulan (purnama). Dulu sebelum ada listrik masuk desa, mainan yang paling ngehits ya main petak umpet saat terang bulan. Rasanya menyenangkan karena bisa berkumpul dan membaur bersama anak-anak lain yang satu desa.
6. Atap yang Cenderung Rendah
Percaya bahwa bangunan rumah adalah cerminan pemiliknya? Saya percaya. Rata-rata orang Jawa asli, sebutlah nenek di samping rumah saya. Beliau meski memiliki banyak sawah namun orangnya rendah hati. Tidak ada yang ia banggakan pada orang lain dengan mengatakan berapa jumlah sawah maupun hartanya. Saya sering terkaget melihat beliau masih bersemangat untuk membantu orang saat ada orang yang sakit. Saat panen beliau juga masih mau untuk gotong royong menjemur padi yang sudah dipanen. Sering juga ada pohon asem yang tumbuh di halaman boleh dipetik oleh orang lain yang meminta. Beliau tidak imbalan untuk setiap buah yang dipetik tadi. Berbagi dan rendah hati seolah sudah menjadi ciri khasnya.
7. Memiliki Dapur yang Luas
Iya, dapurnya luaaasss banget! Di belakang rumah adalah ruangan khusus untuk dapur. Biasanya masih menggunakan bahan bakar kayu untuk memasak makanan dan merebus air. Dapur ini biasa digunakan untuk memasak makanan untuk kebutuhan makan satu rumah. Satu rumah itu biasanya terdiri dari 2-3 kelapa keluarga, karena anak-anak yang sudah menikah masih menempati rumah yang sama dengan orang tua. Kebayang berapa banyak orang yang makan jika sekali masak? 😀
Ada banyak filosofi rumah joglo Jawa Tengah yang masih saya pertanyakan sehubungan dengan adat budaya orang Jawa. Meski saya lahir di Jawa Tengah yang masih kental adat Jawanya, namun karena saya generasi 90-an yang jarang mengamati adat yang diberlakukan orang tua, jadinya hanya segini saja apa yang saya pahami. Semoga bermanfaat bagi teman-teman untuk tahu makna filosofi rumah joglo Jawa Tengah. Semoga kita juga masih bisa melestarikan adat budaya ini hingga anak cucu nanti. 🙂
Aku suka memperhatikan rumah-rumah adat yang sudah jarang ada sih, tapi baru tau ini filosopi tentang rumah Joglo.
thanks ya! 🙂
kalau disini, yg punya rumah joglo biasa dulunya orang kaya (sawah nya luas). tapi sekarang udah jarang banget, kebanyakan sudah direnovasi jd rumah modern 🙂
apa kabar Ila?
Dapur yg luas dgn tungku kayu itu ciri khas banget ya.
Di rumah mbah juga dapurnya luas banget, mungkin selain biar bisa njagong sama keluarga yang masak juga supaya asapnya gak sampai rumah depan ya 🙂
Iya, kalau aku jatuh ingat langsung ke pintu yang terletak di tengah, keknya emang njawani sekali ya..lalu teras di depan rumah..halaman yang luas…rindu rumah joglo
menarik. saya juga senang memperhatikan rumah adat dan memikirkan filosofi yg terkandung di dalamnya. kalau baca penjelasannya mbak ila, rumah joglo ini menggambarkan budaya yang terbuka sekali ya. dari pintu depan sampai belakang kelihatan, uwih…
tapi kalau seingat saya, rumah tradisional yg soliter biasanya memang jarang yang berpagar deh mbak. eh, nggak tau juga sih. hihi. seru ya ngomongin hal begini. kita juga jadi tau tentang budaya lain, supaya nggak jadi katak dalam tempurung. 🙂
nice share mbak ila.. oh ya, ini baru ke wordpress ya mbak? soalnya perasaan dulu platform blogger. iya nggak sih? dulu juga saya follow tapi belakangan nggak pernah muncul di dashboard. pas ini main lagi, baru sadar ketinggalan banyak postingan. :v kapan pindahnya mbak?
Pagar mangkok juga diartikan jika kita sering memberi rejeki lebih yang kita miliki, maka tetangga akan selalu melindungi kita. Misal ada maling maka tetangga akan selalu berusaha supaya maling tidak bisa masuk. Berbeda dengan di kota besar yang pagarnya tinggi, meskipun ada maling tetangga tidak mengetahuinya.
Mau tanya mbak, apa filosofi dari mbak tulis ini berdasarkan dari buku referensi tentang rumah jawa atau tidak? Bila iya, apakah saya boleh tau judul bukunya apa? Terima kasih
Bukan dari buku, kak. Tapi dari ngobrol dengan orang jawa yang sudah sepuh. 🙂
Mau tanya, kenapa rumah-rumah di Purbalingga, jendelanya pada terbalik? Biasanya kan engsel jendela ada di atas atau disamping. Tapi di Purbalingga justru engselnya yg berada di bawah, sehingga yg mengayun buka/tutup adalah bagian atasnya. Terima kasih…
aku memang paling suka rumah joglo karena nenekku juga rumanya joglo, terbuka
Sama-sama di Jawa, tapi dari cara membangun rumah pun banyak perbedaan. Rindu rumah-rumah seperti ini.
Permisi mbak, saya izin repost ke instagram dan tetap akan saya cantumkan kreditnya. Bolehkah?
Terima kasih:)
Boleh, kak. Silahkan credit ke ig @ilarizky ya. 🙂