Festival Drumblek Kampung Ragam Warna 2019 : Kampung Kreatif Yang Guyub dan Rukun di Kota Kendal
Kampung Ragam Warna adalah sebuah kampung unik dengan aneka warna-warni mural, lukisan di setiap sudut rumah dan jalan-jalan yang ada di desa Mranggen, Kutoharjo, Kab. Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Tanggal 26-27 Oktober 2019 yang lalu, saya berkesempatan hadir di Festival Drumblek Kampung Warna 2019 yang diadakan di Kendal. Kampung yang kecil ini mampu menampung 100 KK dan 500 warga lho. Wow, banyak juga yaa. 😉
Untuk menuju ke Kampung Ragam Warna, jarak dari Stasiun Weleri ke desa Mranggen membutuhkan waktu 40 menit. Kalau dari rumah saya di Tegal waktu tempuhnya sekitar 2 jam 44 menit menggunakan mobil, atau bisa juga pakai kereta api turun di Stasiun Weleri, lalu lanjut naik Grab dan turun di dekat Makam Sunan Katong Kaliwungu. Jalan kaki sedikit sekitar 100 meter, kita sudah sampai di gerbang desa bertuliskan Kampung Ragam Warna. Nah, masuk saja deh. 😀
Kampung Ragam Warna didirikan dua tahun lalu. Sang konseptor yaitu Bu Wiwik W. Wijaya dan Pak Bambang Yogi mengonsep Kampung Ragam Warna menjadi kampung dengan konsep edu wisata. Kampung wisata ini memiliki keragaman konten edukasi yang akan dijadikan destinasi wisata nasional maupun internasional. Konsep yang dibuat bu Wiwik ini tak hanya sekadar mewarnai kampung saja seperti kampung pelangi lainnya, namun juga mendidik warganya agar menjadi warga yang siap menawarkan keindahan budaya Kaliwungu. Ya, budaya yang kini masih kental di masyarakat Kabupaten Kendal.
Dari sudut kota Kendal, jika kamu masuk ke dalam kampung Ragam Warna, kamu akan melihat betapa banyak hal yang telah berubah dari kampung yang awalnya biasa-biasa saja, kini sudah memiliki potensi wisata bernilai jual yang tinggi. Desa wisata yang digagas Bu Wiwik ini dibuat untuk menjadi benteng budaya bagi Kendal di tengah industrialisasi yang terjadi di kota ini. Banyaknya pabrik dan industri yang bertumbuh tak membuat Bu Wiwik menyerah. Ia mengajak warga Kampung Ragam Warna untuk belajar berbagai kesenian agar bisa tetap lestari di tengah modernisasi zaman. 🙂
Sejak dua tahun lalu, bu Wiwik rutin menyelenggarakan workshop seni setiap dua pekan sekali bagi anak-anak di Kampung Ragam Warna. Selain itu, ia juga mengajak teman-temannya yang dari jurusan S2 Eko Wisata dan Jasa Pelayanan untuk membantunya melatih anak-anak Kampung Ragam Warna agar siap menerima tamu dari luar daerah. Ya… tujuannya agar desa wisata ini bisa bernilai jual di mata wisatawan.
Pelatihannya apa aja? Misalnya saja mempersiapkan penyambutan tamu, menata kasur penginapan (home stay), attitude warga, cara bersikap pada tamu, membersihkan homestay, dll. Pelatihan yang berlangsung selama 3 hari ini bertujuan jangka panjang karena sebagian besar warga di desa wisata Kampung Pelangi ini pendidikannya hanya sampai SMA saja. Yang berkuliah hanya ada 4 orang saja. Jadi sangat penting untuk melatih soft skill pelayanan bagi tamu karena yang dijual adalah jasa wisata yang mana membutuhkan keramahan warganya.
Jika desa ini dikenal dengan keramahan, kekompakan, dan kebersihannya, tentu saja nama Kampung Ragam Warna akan mudah dikenal di kalangan wisatawan dalam negeri maupun mancanegara. Inilah yang melatarbelakangi bu Wiwik dan segenap warga berjibaku mempersiapkan Festival Kampung Ragam Warna 2019 sejak 3 bulan sebelumnya.
Bu Wiwik ingin anak-anak Kampung Ragam Warna terlatih membuat event wisata yang terkonsep dengan baik dan hasilnya pun memuaskan. Jadi planning 3 bulan itulah yang ia buat dan akan dievaluasi ke depannya bagaimana hasilnya untuk masukan festival tahun berikutnya.
Festival Drumblek Kampung Ragam Warna 2019 : Kampung Guyub, Rukun Wargane, Kreatif Keseniane
Ide kampung yang guyub dan rukun warganya ini bukan hanya membutuhkan kesolidan seluruh pihak, namun juga kegesitan untuk menyelaraskan seluruh keragaman yang ada di Kampung Ragam Warna. Dalam waktu dua hari acara Festival Drumblek Kampung Ragam Warna 2019, berbagai Workshop kesenian dibuat di Kampung Ragam Warna ini, antara lain : workshop SMOK, kartunis, membuat makanan tradisional Sumpil, lukis payung. Selain itu juga ada penampilan Rebana Al Badar Kaliwungu, Kirab Budaya sebagai simbol Kampung Ragam Warna di Mranggen, Pembukaan Festival Drumbek Pasific Paint Cup 1 Kampung Ragam Warna yang dibuka oleh Direktur Pasific Paint, Kepala Desa Kutoharjo Kaliwungu, dan camat Kaliwungu. Selain itu ada penampilan tari anak Kampung Ragam Warna Mranggen, Rebana Modern, penampilan Band “Daun Bambu” Kaliwungu.
Hari kedua acara berlangsung terdiri dari workshop lukis ampas kopi dan penampilan peserta grup drumblek.
Sponsor untuk acara ini antara lain : Cap Kapak, Hanamasa, dan Pacific Paint. Setiap peserta yang terdaftar mendapat goodie bag berisi t-shirt, kipas dan produk cak Kapak. Baru tahun ini Pacific Paint menjadi sponsor, sebelumnya kerjasama hanya dalam bentuk mengecat kampung Ragam Warna. Namun kini menjadi sponsor juga untuk lomba Blog, Vlog dan foto.
Tradisi Weh-wehan di Kaliwungu, Kendal
Jika kamu mendengar istilah weh-wehan, apa yang terpikir olehmu? Awalnya saya mengira weh-wehan itu berasal dari kata weh yang artinya diberi. Weh-wehan saya kira budaya saling memberi, dan ternyata benar adanya. Tradisi weh-wehan sendiri masih lestari sampai saat ini.
Tradisi Weh-wehan adalah tradisi berkunjung atau silaturahim kepada tetangga dan kerabat dengan memberikan makanan Sumpil dan sambal docang sebagai oleh-oleh. Sumpil itu berasal dari kata Sumelehno Uripmu Marang Pangerang Ingkang Langgeng yang artinya letakkanlah hidupmu pada Tuhan yang abadi. Acara tradisi ini masih lestari hingga saat ini dan dilakukan saat acara maulud Nabi. Nah, makanan ini masih ada lho hingga saat ini. Kalau kamu mau mencobanya, datanglah saat Maulud Nabi ya!
Workshop Seni Lukis Payung Kertas
Saat saya datang ke Kampung Ragam Warna, waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Saya diantar oleh panitia untuk menuju Home Stay. Sebelumnya ditawarkan terlebih dahulu untuk beristirahat sejenak di tempat transit yang berupa ruangan dari bekas sekolah. Di sana ada toilet umum yang bisa digunakan untuk wudhu dan buang air kecil.
Bagi saya yang merupakan pendatang, saat masuk ke Kampung Ragam Warna dan ditunjukkan Home Stay oleh panitia, saya dikejutkan dengan anak-anak yang sedang belajar melukis payung kertas di sepanjang jalan menuju home stay. Salah satu teman saya bernama mba Andrie Potlot juga ikut meramaikan lomba lukis payung ini. Ia tidak membawa alat lukis, jadi waktu yang tersisa 1 jam ia gunakan untuk melukis dengan media seadanya di homestay. Jadi mba Andrie menuangkan cat secara acak di payung kertas miliknya. Lalu terciptalah corak abstrak yang dihasilkan dari kreasinya.
Para blogger, fotografer dan vlogger yang hadir mengikuti rangkaian acara Festival Drumblek Kampung Ragam Warna 2019 tercatat hingga 250 an peserta dari 350 an peserta yang mendaftar. Kami disuguhi jamuan makan siang di rumah warga selagi menunggu workshop lukis payung kertas selesai.
Workshop lukis payung kertas ini pesertanya beragam, baik tua maupun muda mengerjakan lukisan dengan antusias. Sebagian besar warga berpencar ke seluruh kampung, ada yang menyendiri membuat lukisannya, ada yang bergerombol dengan temannya. Yang terpenting payung lukisnya dibuat dengan penuh suka cita dan kreatifitas tak terhingga. Setelah selesai, seluruh payung yang sudah dilukis dikeringkan di depan panggung utama dan akan masuk penjurian lomba juga. Setelah terpilih lukisan yang menjadi pemenang dipajang di dalam Gallery Mranggen, sebuah rumah yang bergambar mural topeng jawa yang cantik sekali. Di sanalah ditata payung-payung itu beserta trofi juara.
Makanan Khas Tradisional yang Dijual Murah Meriah di Kampung Ragam Warna
Setelah puas melihat lukisan, saya berkeliling bersama mba Mechta untuk mencari kuliner khas di dekat rumah-rumah warga. Nah, saya menemukan makanan khas yang dijual di sebuah warung yaitu bubur sum-sum dan es setup pisang. Harganya murah lho, hanya 3 rb saja. Setelah puas mengobrol dengan ibu pemilik warung, saya pun ikut sholat di mushola yang ada di dekat warung. Mushola ini bersih dan tertata. Selain itu mukenanya juga bersih dan wangi. Warganya guyub menuju mushola jika waktu sholat telah tiba. Sungguh sebuah pemandangan yang jarang dilihat di perkotaan.
Melihat Tarian Sufi dan Rebana Al Badar
Sore harinya saya melihat pertunjukan tarian sufi yang diiringi shalawatan dari grup Rebana Al Badar. Grup ini digawangi oleh Mas Muhaimin Muhammad yang sudah dua kali hadir meramaikan festival Drumblek. Tarian Sufi ini berlangsung cukup lama hingga senja tiba.
Saya pun mengabadikan beberapa gambar dan video saat melihat tarian sufi ini. Jujur, ini kali pertama saya melihatnya langsung. Selama ini saya berfikir bahwa tarian sufi ini hanya ada di Turki, tak ada di daerah Jawa. Tapi ternyata akulturasi budaya membuat tarian sufi ini masuk ke dalam salah satu keunikan budaya di Kaliwungu.
Tari Sufi sendiri ditarikan oleh laki-laki dengan mengikuti irama shalawat dan rebana yang ditabuh. Namun, ada keunikan tersendiri saat melihat tarian sufi juga ditarikan oleh perempuan dengan pakaian menyerupai gamis. Gamis yang dipakai pun warna warni, bukan warna putih seperti halnya tari sufi yang selama ini saya tahu.
Dalam alunan tarian sufi, penari pun ikut menari mengikuti iringan rebana dan melantunkan shalawat. Setiap kali berputar, tangan penari diangkat ke atas, ada juga yang diletakkan di bagian dada. Setiap kali berputar dengan cepat, bagian bawah roknya akan bergelombang membuat lingkaran yang makin mengembang dan melebar.
Tarian Sufi didasari dari cinta dan kehilangan yang dialami oleh Rumi, sufisme yang hidup di abad ke -13 yang mengilhami tarian sufi. Jadi saat menari, ada hal yang dilakukan sang penari yaitu tarian sema atau doa darwis berputar. Tari ini bisa berlangsung lama sekitar 1-2 jam. Padahal kalau muter-muter mulu bentar 5 menitan aja bisa pusing ya, ini engga pusing loh. Jadi, inilah tarian sambil dzikir, atau dzikir sambil menari ya? 😀
Salah satu lirik nyanyian dalam tari sufi yang membuat saya tertegun saat mendengarnya adalah lirik ini, “Engkaulah purnama, penerang dalam gulitaku, Aku jatuh cinta, cinta kepada dirimu.” Ya, lagu ini ditujukan pada nabi Muhammad. Kecintaan kaum sufisme pada nabi membuat mereka mengekspresikannya lewat tarian.
Seni SMOK : Hasil Kreasi Lukisan Khas Kaliwungu dari Limbah Kain Perca
Nah, setelah kita membahas berbagai seni lainnya, kita akan berpindah ke Seni SMOK ya, teman. Seni rupa SMOK mulai tumbuh dan dikenal masyarakat Kaliwungu Kab. Kendal di tahun 70 an. Seni rupa SMOK ini adalah kreasi yang menggunakan kain batik sebagai bahan bakunya. Sang penggagas seni rupa SMOK bernama Pak Sugeng yang sempat menjadi pengisi sanggar Delima di Kaliwungu, kini sudah tiada. Namun regenerasi ini dilanjutkan oleh Kang Ipul dan Pak Mukjizat.
Pak Sugeng yang merupakan mentor Kang Ipul, sudah membuat dekorasi pelaminan menggunakan tehnik SMOK di tahun 1960 an, untuk lukisan SMOK di tahun 1980 an. Bahkan hasil lukisan SMOCK pernah dijadikan souvenir khas Jawa Tengah. Setiap ada tamu negara yang berkunjung ke Jateng souvenirnya adalah SMOCK. Nah, tamu yang pernah mendapat souvenir SMOCK antara lain : Ratu Elizabeth II, Imelda Marcos, Ibu Tien Soeharto. Namun sayang, masa kejayaan beliau hanya sebentar sampai akhir hayat hidupnya susah, bahkan untuk makan saja susah.
Saat ini, Kang Ipul dan Pak Mukjizat sebagai penggiat kreasi seni SMOCK di Mranggen, Kaliwungu Kab. Kendal mengenalkan hasil kreasi SMOCK ini di Festival Drumblek Pasific Paint Kampung Ragam Warna 2019. Kang Ipul mengisi workshop di Kampung Ragam Warna mulai dari jam 10 pagi hingga 11.30 di hari pertama Festival Drumblek 2019 berlangsung.
Seni SMOCK merupakan seni visual yang menampilkan seni kain yang dismok (Smek artinya remas/remet dalam bahasa Jawa). Jadi dalam proses pembuatan seni lukis ini dibutuhkan keahlian mengkreasikan warna kain perca di atas media kain blaco maupun kayu.
Kang Ipul mengolah limbah kain perca batik yang diperolehnya dari kakaknya yang penjahit. Awalnya Pak Sugeng, guru Kang Ipul menggunakan kain batik yang berupa lembaran lalu dipotong-potong. Namun karena harga kain batik yang mahal, Kang Ipul menggunakan kain perca batik sebagai bahan penggantinya. Jumlah kain perca yang digunakan menyesuaikan besar kecil dan tingkat kerumitan lukisan. Selain itu, jika tidak ada kain perca batik, kain perca katun pun bisa digunakan.
Di tangan Kang Ipul, kain perca batik yang merupakan limbah industri konveksi, kini justru menjadi berkah karena bisa disulap menjadi karya seni yang bernilai tinggi. Harga satu lukisan SMOCK bisa dihargai hingga 3 juta rupiah. Waw, kamu minat belajar melukis SMOCK juga? Yuk main ke Mranggen Kendal!
Lalu, gimana sih cara membuat Lukisan SMOCK?
Nah, caranya mudah lho. Kain perca dipotong sesuai kebutuhan, diberi lem pada kain perca dan permukaan yang akan ditempel. Lalu, tempel kain sambil dibuat kerutan menggunakan pinset. Kain perca ini ditempelkan di atas sketsa gambar dasar yang telah dibuat terlebih dahulu. Misalnya sebelum membuat lukisan ikan koi, maka Kang Ipul membuat dulu sketsa awalnya dengan spidol.
Satu lukisan SMOCK yang dibuat oleh Kang Ipul menghabiskan waktu satu bulan pengerjaan. Kreasi ini dibuat di sela-sela rutinitas hariannya. Tak ada waktu khusus untuk membuatnya, karena kapan saja bisa dikerjakan. Hasil lukisan SMOCK tergantung kepandaian sang pembuat lukisan saat memadukan warna. Terkadang motif di kain batik menentukan hasil. Terkadang kita terbantu dengan motif kain batik yang digunakan jadi nggak perlu lagi membuat detail pola.
Saya awalnya mengira jika membuat SMOCK harus siang hari mengingat pembuatan media seni ini menggunakan lem kayu yang harus dikeringkan. Ternyata tidak lho, teman. Membuat SMOCK bisa kapan saja karena proses mengeringkan hasil lukisan itu pun tak perlu di bawah terik matahari.
Lem yang digunakan untuk menempelkan kain perca adalah lem kayu (lem putih). Kalau lem masih baru tunggu 1 menitan baru ditempel. Hasil lukisan cukup diangin-anginkan saja dalam waktu 1-2 jam sehingga kain sudah merekat kuat. Jika proses mengeringkan lukisannya langsung di bawah sinar matahari malah bikin media untuk menempel kainnya jadi melengkung. Proses finishing lukisan SMOCK menggunakan vernis semprot atau pilox (clear gloss) agar warna kain batiknya tidak pudar.
Untuk regenerasi karya seni rupa SMOCK ini sudah ada 2 orang keponakan Kang Ipul yang rutin mengikuti workshop di rumahnya. Di Kampung Ragam Warna sendiri, pengenalan seni SMOCK sudah berlangsung tiga kali. Workshop SMOCK juga pernah dilakukan saat ada kunjungan dari SMP Global Mandiri Cibubur ke Kampung Ragam Warna, sebelum puasa bulan Ramadhan yang lalu.
Jika anak-anak atau orang dewasa ingin belajar membuat lukisan SMOCK, bisa dengan mengikuti workshop, seperti yang pernah dilakukan Kang Ipul saat diajari oleh almarhum Pak Sugeng, gurunya. Untuk pemula pengerjaan lukisan SMOCK selama 1 minggu dengan pendampingan penuh sehingga bisa belajar bagaimana proses pengerutan kain dan memadukan warna yang indah. Karena dua hal itulah yang menjadi kendala bagi pemula yang ingin mempelajari lukisan SMOCK.
Dalam pembuatan sketsa lukisan SMOCK, biasanya Kang Ipul menyuruh anak-anak membuat sendiri sketsa dasarnya, namun jika waktu workshop hanya singkat 2 jam saja seperti saat di Kampung Warna minggu lalu, maka sketsa sudah dibuatkan olehnya. Saat workshop berlangsung, peserta diberikan dasar cara pengerutan kain batik untuk membuat lukisan. Selebihnya, anak-anak bisa berkreasi sesuai dengan imajinasi mereka.
Nah, kamu berminat membuat lukisan SMOCK? Yuk belajar dengan Kang Ipul dan Pak Mukjizat di Kampung Ragam Warna! 😉
Tarian Anak Remaja, Grup Rebana dan Band Daun Bambu dari Kampung Ragam Warna Mranggen
Tarian kreasi anak yang dilakukan oleh anak-anak remaja Kampung Ragam Warna Mranggen ini dilakukan oleh grup rebana SD 02 Nolokerto . Tarian ini menggunakan kostum Aladdin dan Jasmine untuk menggambarkan suasana Timur Tengah. Anak-anak yang sudah dilatih mempertnjukkan kebolehannya untuk menari dengan percaya diri. Setiap alunan rebana yang ditabuh menghasilkan gerakan tarian yang luwes dan selaras dengan musik yang dimainkan.
Ada juga penampilan dari grup tari dari Kampung Ragam Warna yaitu grup Tari Mellow. Mereka menarikan dengan kostum berwarna kuning dan selendang berwarna merah. Tarian ini pun awalnya saya kira mirip jaipong, tapi beda ternyata, hehe. Tari ini menggunakan pom pom berbahan tali rafia. Warna pompom pun menyesuaikan warna kostum yaitu kuning dan merah. Saat pertujukan dimulai, dari belakang lighting tampak memancarkan warna bergantian ungu, hijau, kuning, merah, biru yang makin menambah marak suasana di panggung utama.
Selain itu ada penampilan dari grup Reggae asli Kaliwungu yang bernama band Daun Bambu. Grup ini menyanyikan lagu ciptaannya berjudul Kaliwungu. Lagu ini adalah ekspresi kecintaan mereka pada kota tercinta.. Meskipun penampilan reggae terkesan urakan, namun lagu yang dinyanyikan membuat suasana malam hari di Kampung Ragam Warna makin semarak.
Festival Drumblek : Menari dan Menyanyi Hingga Sore Menjelang
Keesokan harinya, ada penampilan dari peserta festival Drumblek. Drumblek sendiri adalah alat musik yang dibuat menggunakan bahan bekas antara lain kaleng, drum, dll sehingga ketika dibunyikan menghasilkan nada-nada yang indah dan selaras dengan tarian sang penari. Penari ini biasanya menggunakan properti tambahan seperti cambuk, wayang, topeng, selendang, kendi, dll. Sebagian besar properti digunakan untuk menghasilkan efek takjub saat dilakukan di atas panggung seperti yang terjadi saat grup penari anak-anak menaburkan kembang sebelum naik ke panggung.
Festival Drumblek ini berlangsung sudah dua tahun. Tahun ini makin semarak sehingga menambah suasana panggung utama makin berwarna. Berbagai kostum pun ditampilkan. Saya paling suka kostum anak-anak penari yang membawa kendi di tangannya dan menggunakan topeng hitam. Mereka terlihat wah dengan konsep yang lebih tertata. Meskipun ada juga grup lainnya yang tak kalah bagus yaitu grup Mojang Priangan. Suaranya yang merdu mampu membius penonton di siang hari itu.
Setelahnya, acara dilanjutkan dengan workshop Ampas Kopi dan makan siang. Kami menyantap makanan lezat buatan ibu di kampung Ragam Warna Mranggen. Sekaligus saya juga minum es selasih yang dibuat dengan sepenuh cinta. Ya, apalagi buat yang beneran kehausan di siang hari yang terik karena matahari serasa di atas kepala, rasanya minum es selasih satu gelas aja ga cukup ya. Hehe. Makasih ibu udah bikin makanan yang enak. Rasanya juaraakk! 😉
Workshop Lukisan Ampas Kopi : Kreasi Lukisan Unik dari Bubuk Kopi oleh Slow Man, Mas Andre Himawan
Di Kampung Ragam Warna juga diadakan workshop Lukisan Ampas Kopi yang diisi oleh Mas Andre Himawan. Mas Andre Himawan sang pelukis asli Kendal ini memiliki keinginan untuk membuat karya yang berkesan unik dan menarik. Itulah sebabnya di tahun 2016, Mas Andre Himawan mulai menggeluti karya seni lukis menggunakan bahan dasar ampas kopi. Seni lukis ampas kopi ini berawal dari ketertarikannya pada dunia seni, ia ingin membuat karyanya berbeda dari karya seni yang lain. Seorang temannya memberi saran agar ia membuat seni lukis dari ampas kopi. Siapa sangka dari sebuah ide di kedai kopi, lalu berlanjut menjadi sebuah karya yang diminati banyak orang?
Saat membuat lukisan ampas kopi, mas Andre menggunakan ampas kopi halus sehingga mempengaruhi tekstur lukisan. Untuk membuat karya dari ampas kopi sebenarnya kapan pun bisa selama ada mood pasti selesai dengan baik. Jika ada pemesanan lukisan ampas kopi, mas Andre memberi waktu sekitar seminggu untuk proses pengerjaan lukisan ampas kopi tersebut. Karena ia hanya bisa mengerjakan lukisan tersebut selepas pulang kerja.
Untuk bahan kopi mas Andre menggunakan kopi bubuk (cete) dengan tekstur ampas halus. Mas Andre juga memilih media kertas watercolour sebagai media lukis ampas kopi. Namun jika tidak ada kertas watercolour pun, ia bisa menggunakan buku gambar biasa asalkan air tidak mudah meresap. Di Kampung Ragam Warna, Mas Andre bilang tingkat kesulitan bagi pemula yang ingin belajar membuat lukisan ampas kopi adalah mengatur tebal dan tipisnya goresan kuas dari bubuk ampas kopinya.
Mas Andre juga pernah melakukan pameran di Taman Ismail Marzuki, Jakarta saat ada event Indonesia di Mataku. Ia memajang 50 karya lukisan ampas kopi bertema anak-anak yang ia buat dalam waktu 3 bulan. Salah satu lukisan karyanya ia berikan pada Pasific Paint sebagai kenang-kenangan acara Festival Drumblek Pasific Paint Cup 1 Kampung Ragam Warna, Mranggen, Kaliwungu, Kab. Kendal. Lukisannya juga sudah pernah diikutsertakan dalam pameran Forum Indonesia Moscow oleh bu Wiwik yang menemani anak-anak Kampung Ragam Warna melihat dunia seni yang sesungguhnya.
Nah, kalau kamu mau digambarin sama mas Andre, kamu bisa pesan lukisan ampas kopi dengan harga yang terjangkau lho. Harganya mulai dari 200 rb per lukisan. Harga lukisan ampas kopi mas Andre tergantung tingkat kesulitan juga ya, teman. Kalau mau pesan bisa hubungi di ig nya ya. @andre_himawan_art. Selamat memesan lukisan kebahagiaan! 😉
Nah berakhir sudah rangkaian acara festival Drumblek Kampung Ragam Warna 2019 ini. Saya mengapresiasi sekali keragaman seni di Kampung Ragam Warna. Bukan hanya mural di dinding yang cantik dan menawan, berbagai spot foto yang instagramable, namun kampung Ragam Warna ini juga guyub rukun dan ramah menyambut siapapun yang datang untuk berkunjung. Selain itu fasilitas tempat sampah juga banyak tersedia di rumah-rumah warga. Jadi menyenangkan bisa masuk ke Kampung Ragam Warna dan merasakan euforia kebahagiaan menikmati sajian musik, seni rupa, dan tari yang disajikan oleh seluruh warganya. Semoga tahun depan bisa lebih meriah lagi dan makin banyak orang yang mengenal kampung ini sebagai destinasi wisata Kendal favorit di kancah dunia. 😉
Mechta says
Kumpliiit.. asyik ya La, acara kemarin meski malamnya harus senam tangan tapi ku masih pengen ke sana lagi utk ikut workshop2nya..haha…
inna says
Kampung yang dapat menginspirasi kampung2 lainnya ya semoga selalu terjaga kultur budayanya sehingga tidak punah